Wahai sang Surya,
Hadirmu menoreh sejuta cerita,
Tidak dalam bayang ataupun mimpi,
Semua disingkap pada sinar ketulusan canda dan tawamu,
Itu dirimu bukan diriku ataupun mereka.
Ketika coretan tintaku menghiasi selembar kertas buram,
Hati ini terasa disayat sebilah sembilu,
Tetesan air mata mulai berjatuhan,
Hatiku pun ikut berantakan bagai gempa mengguncang bumi.
Kini, semua tentang ragamu hanya bisa ku kenang dalam catatan sang perindu,
Tatkala dirimu menorehkan untaian salam perpisahan lewat secarik kertas,
Yang tak'kan pernah lekang oleh waktu.
Kata demi kata telah ku rangkai,
Kisah tentangmu telah ku bingkis dalam sebuah syair pilu,
Dunia ini sangat kejam,
Begitupun sang waktu datang merenggutmu tanpa sapa,
Hati ini mulai melemah, ketika disapa tangis.
Dikau pergi seolah tak mengingat semua cerita yang telah 'kau torehkan 'tuk aku dan mereka,
Setiap lembaran yang kau hiasi dengan tinta kebaikanmu kini terhanyut dalam pusaran waktu,
Hingga lembar terakhir kau sisakan 'tuk menceritakan luka yang kau berikan,
Wahai sang penutur,
Sudah sejauh mana pijakan kakimu menghempas dunia barumu?
Engkau pergi tanpa pesan,
Seribu satu perih telah kau torehkan di kalbu, menyiksa batinku melemahkan ragaku.
Dibalik bayang dan mimpi,
Ada luka yang sempat tergores, sakit, bahkan ternoda pada setiap lembar hidupmu,
Yang tidak pernah 'kau pinta tuk berkaca di lembah kehadiran,
Kini...,'Kau pergi entah kemana?
Kerinduan ini sangat mencekam,
Kini tak bisa ku bendung lagi,
Namun tak bisa ku lampiaskan,
Hanya mengenang ragamu dengan deraian air mata dari kejauhan nan sunyi.
Dalam kelam aku merindu,
Raga kita tak kunjung jumpa,
Tangan kita tak bisa berjabat,
Suara merdumu dibungkam sang waktu,
Siulan yang pernah menyapaku, kini lenyap dan tak menggema.
Engkau pergi entah kemana,
Sudah seberapa jauh 'kau melangkah,
Tak ada kabar yang kau beri ,
Hanya ragamu memberi isyarat,
Bahwa kau telah pergi untuk selamanya.
Sayonara Sang Pelakon,
Walau luka merajai batin,
Namun doa ikhlasku menyertaimu,
Selamat berpisah,
Sebab rindu ini penuh tanda tanya.
Penghujung agustus menyapa ragamu,
Merenggut nafasmu dari tatanan dunia ini,
Sukacita mendatang tak bisa 'kau rasa,
Alam kita kini tak sama
Dari ketiadaan kita saling merindu.
Teruntukmu yang telah pergi selamanya,
Selamat jalan panutanku.
Gloria yang engkau torehkan menyertai kepergianmu.
"Aku tak tahu dari mana aku datang, dan kearah mana aku harus melangkah. Namun ku sadari aku seperti ini karena Engkau, Bapa".
Bapa yang selalu memahami, Bapa yang selalu mengerti dan Bapa yang selalu setia.
Sejauh apapun manusia memijakkan kakinya diatas bumi pertiwi ini, garis akhir yang akan diraihnya adalah ketiadaan.
Sebab bumi pertiwi ini tidaklah kekal, melainkan fana. Dunia ini juga bukanlah sebuah rumah, bukan juga kampung halaman. Akan tetapi kehidupan di dunia ini hanyalah sementara, sesaat dan sebentar saja. Dan sejatinya kehidupan itu ialah keabadian.
Atambua, 29 Agustus 2022
Syair ini didedikasikan bagi RD. Martinus S. Hadiwijaya, Pr. (PENDIRI UTAMA THS-THM)
Teriring salam : Fortiter In Re, Suaviter In Modo guna meraih Kerendahan Hati.
Penulis : Novryano/Mat Asa
"Lekaslah Pulih, Aku akan kembali menjengukmu Adenaku"
Sejujurnya saya tidak bermaksud untuk mengurung diri kamu Saya hanya ingin memberi sapaan singkat agar saya mau mengetahui sepatah kata kabar dari kamu, bukannya pengemis namun itulah cara saya menyayangi kamu...
Aku tak tahu dari mana aku datang, dan kearah mana aku harus melangkah. Namun ku sadari aku seperti ini karena Engkau, Bapa".Engkaulah Bapa yang selalu memahami, Bapa yang selalu mengerti dan Bapa yang selalu setia.Sejauh apapun manusi